Monster Bernama Sekolah : “UN Memuakkan”

Image

Apa sih sebenarnya tujuan kita sekolah? Apakah karena dari jaman kita masih baru bisa berjalan kita udah dijeblosin sama orang tua kita ke suatu tempat bernama sekolah? Sekolah untuk mencari ilmu (jawaban klise)? Sekolah untuk cari sertifikat supaya bisa melamar pekerjaan? Atau sekolah untuk kepentingan prestise dan harga diri seorang manusia?

Sebagai guru yang berprofesi di bidang pengajaran non formal, bertahun-tahun gw mengalami pasang surut jumlah murid. Dan gw rasa semua teman-teman guru di sekolah musik udah hapal fenomena naik turunnya jumlah murid ini. Saat bulan puasa yang diikuti dengan liburan panjang Idul Fitri, bulan Desember yang meski tanggal merah libur nasionalnya cuma satu hari yaitu hari Natal 25 Desember, dan tentu saja…..beberapa bulan sebelum UN alias Ujian Nasional, yang puncaknya adalah bulan UN diadakan, diikuti dengan libur panjang kenaikan kelas. 

Gw bukan mempermasalahkan jumlah murid (yang otomatis berimbas pada jumlah penghasilan gw), tapi 1-2 tahun terakhir ini gw semakin merasakan perubahan murid-murid gw. Semakin sering gw dapet murid yang diawal les perkembangannya bagus banget, punya bakat yang cukup di bidang musik, dan yang terpenting, minat dan semangat untuk mempelajari alat musik pilihannya, dan disiplin latihan di rumah. Tapi begitu murid ini naik ke kelas 6 SD, 3 SMP, atau 3 SMA, grafik perkembangannya langsung terjun payung. 

Gw punya kebiasaan untuk selalu nanya ke murid gw, berapa kali dia latihan di rumah dalam seminggu, gimana metode atau urutan latihannya. Dan jawaban murid-murid “terjun payung” ini selalu identik. 

“Masih latihan kak, tapi cuma bisa seminggu sekali, paling 10 menit”

“Ga sempet kak, aku pulang rumah udah sore banget, belom ngerjain PR, bikin tugas, dan belajar buat ulangan”

“Boro-boro kak, aku masih diminta ngurusin OSIS/ekskul lain sebelum mulai konsen buat UN, jadi masih harus pergi kemana-mana sama panitia acara sekolah”

Image

Sampai tahap sini gw biasa mencoba memberikan mereka solusi latihan dengan curi-curi waktu. Gw yakin sesibuk-sibuknya mereka pasti masih nonton TV meski sebentar, jadi gw tantang mereka untuk mengorbankan nonton iklan untuk latihan biola (ada yang pernah ngitung berapa durasi iklan dalam sejam film?:p). Atau dengan interogasi langsung, hari apa mereka pulang rumah paling awal, hari itulah mereka harus latihan setidaknya beberapa belas menit, better than no practice at all. 

Tapi ceritanya udah berbeda begitu memasuki 2-3 bulan sebelum UN. Murid-murid “terjun payung” ini kompak mengambil cuti. Cuti 3 bulan untuk anak SD-SMP, dan cuti seterusnya untuk anak SMA karena selanjutnya akan kuliah. 

Minggu kemarin salah seorang murid gw yang paling lama (4 tahun lebih) bilang bahwa dia berhenti les karena persiapan UN dan UMPTN (eh, sekarang namanya masih UMPTN ga sih?). Malam ini dia BBM gw, mengucapkan terima kasih buat ilmu dan banyak pengalaman selama bertahun-tahun ini. Oh dear….this is the only reason why I love my job so much, to see my pupils from nothing into something in music….. :’)

BBM berlanjut dengan ngobrol ngalor ngidul, sampai satu kalimat yang dikirim murid gw, “UN memuakkan T_T”. Hmmm… kasus tahun lalu, murid gw anak kelas 6 SD bilang hal yang sama. Cape sekolah, bosen ujian, muak try out. Bulan ini ujian sekolah, bulan depan ujian praktek, bulan depannya lagi ujian nasional.

Belum ditambah dengan remedial ujian harian kalau nilainya dibawah nilai rata-rata/nilai kelulusan minimum. Dibawah nilai itu, bahkan kurang 0.1 poin aja, tercetaklah angka merah di rapor. Hmmm…gw baru tau nih ada sistem seperti ini sekarang. Jaman gw, yang disebut merah itu angka 5 kebawah. Dapet angka 6 udah bersyukur banget karena dianggap “hitam”.

Image

Ujian, menurut gw, memang harus dan perlu ada. Yang tidak harus perlu dan tidak harus ada adalah mengorbankan kegiatan lain, sampai membuat murid stres, kelelahan fisik dan mental, even worse, sampai benci sekolah. Membuat murid stres karena mereka harus mendapatkan nilai diatas rata-rata untuk SETIAP mata pelajaran. Membuat murid kelelahan fisik dan mental karena diwajibkan menikuti pelajaran tambahan (PT) di sekolah sesudah jam sekolah, dan hampir semua mengambil les tambahan/bimbel di luar sekolah dengan alasan PT di sekolah tidak fokus dalam membahas materi ujian. Bukan cuma 1-2 orang tua murid yang cerita bahwa anaknya bangun jam 5 pagi, berangkat sekolah jam 6, dan tiba jam di rumah lagi 6 sore. Setelah selesai istirahat sebentar dan makan malam, PR, tugas, dan ulangan masih menunggu untuk dikerjakan hingga kira-kira jam 10 malam. Bahkan hari Minggu pun bisa habis terpakai untuk try out. Can we blame them if someday they say “I hate school!!!”? 

Beberapa bulan yang lalu gw baca koran, ada wacana untuk menambah jam pelajaran di sekolah untuk mengurangi/mencegah tawuran pelajar. Semua orang tua murid gw yang akrab dan sering ngobrol sama gw selama anaknya les, ga setuju dengan wacana ini.

Semua lingkaran setan sekolah…kurikulum, ujian, nilai, tawuran….bermula dari pembuat kebijakan pendidikan di negeri ini. Seandainya mereka tahu (dan MENGERTI) bahwa setiap orang dilahirkan dengan kecerdasan yang berbeda-beda, sehingga tidak menerapkan nilai minimal yang kaku untuk semua murid. It’s a non sense to force a kid with linguistic intelligence to have the same results with another one with mathematic intelligence in Physics exam!

Image

Seandainya mereka tahu dan mengerti, bahwa di balik pelajar yang hobi tawuran, mereka hanya sedang melepaskan energi berlebih mereka yang tidak tersalurkan. Yahh…bagaimana mau tersalurkan kalau sekolah justru berencana ‘mengurung’ mereka di sekolah di balik jam pelajaran? Di sisi lain, tidak semua pelajar beruntung memiliki orang tua yang harmonis, yang mau mencarikan kesempatan dan mendukung minat anaknya, atau yang memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk membiayai kegiatan positif lain di luar sekolah. 

Kembali ke pertanyaan paling awal, sebenernya apa sih tujuan kita sekolah? Layakkah luas dan dalamnya ilmu yang sudah kita kuasai diukur mutlak dengan ujian yang menghasilkan angka 1 hingga 10, huruf A hingga E, atau IPK 1 hingga 4? Sedangkan nilai itu sendiri tercetak besar-besar dalam sertifikat yang menjadi modal utama untuk melanjutkan hidup ke SMP, SMA, universitas, bahkan perusahaan. 

Dalam perspektif gw, tujuan bersekolah bukan untuk memperoleh hard skill berupa ilmu dan pengetahuan dalam bidang tertentu, tapi memperoleh soft skill (kemampuan bersosialisasi, pola pikir logis, tata krama, etika, dll) yang membuat kita bisa bertahan dan maju, setelah kita lepas dari bawah naungan sekolah. Seperti pisau menajamkan pisau, demikianlah manusia menajamkan sesamanya manusia. Tempat kita bisa berinteraksi dengan teman-teman sebaya kita untuk mempelajari hal-hal baru, that’s school. 

 

Above all, ini cuma pendapat seorang guru musik yang awam tentang pendidikan formal. Yang mendapatkan kesan dari curhat-curhat keseharian para murid dan orang tuanya. Semoga pendidikan di negeri ini terus diperbaiki sehingga tidak lagi menciptakan monster yang bernama: SEKOLAH.

Image

(Celetukan iseng antar sesama guru musik “Harusnya kegiatan sekolah ga boleh ganggu kegiatan musik donk”, gw aminin someday jadi kenyataan :D)

PS : buat murid-murid yang 3 bulan lagi UN, semangat yaaa ^__^ Do the best and let God do the rest….dan jangan masukin biolanya ke gudang ya, play it anytime u got spare time :p

Image